Biji Pedas

Author: Afif /



Kebencian hidup, menjalar kelam menjadi tinta pikiran
Kita pikir kita benar
Kita pikir mereka salah
Kita pikir kita salah
Kita pikir kita tak diterima

Lalu tumbuh bijinya
Terminalnya, ialah marah, sedih, kecewa, muak, mati
Mereka menggembok mata
Bangun tembok untuk kebaikan
Menunggu disembuhkan

Sungguh dari sesungguhnya
Mana ada manusia paling objektif
Atau manusia paling benar
Karena kalau ada
Mereka sudah transparan, mungkin tak bisa makan, dan tak bisa jabat tangan
Karena mereka malaikat tuhan

Rasanya dunia jadi penuh petir
Di setiap jalan, akan ada yang terluka
Tapi tidakkah sedari sadari
Mungkin itulah pedasnya hidup
Ada rasa yang pedih, namun menambah warna
Mungkin hari ini
Aku ludahi pedasnya
Besok
Aku menjulur mencintanya

Maka tinggalah diri
Belajar sendiri

Medan, 25 April 2015
Afif Nabawi

Selahap Damai

Author: Afif /


Bersila di atas bulu halus

Menghadap kiblat
Menyerah urat
Meniti kitab

Cari arti dari butiran arti di setiap lembar
mungkin terselip makna hidup
Semakin berdosa, maka semakin hitam
Maka cucilah mata, dan rendam
Bersihkan lagi

Tiada nikmat yang lebih sumringah
Dari melihat senyum
Dari orang yang terberi

Terlahir kembali, hati putih
Tersemir daki dosa yang menimpa
Biarlah bernapas ceria
Hidup semakin bernyawa
Hanyut dalam cerita cerita ilmu
Bukan merakit topeng
Hanya merajut hati
Memacu sadar

Tak ada lagi yang harus dikejar

Medan, 24 April 2015
Afif Nabawi

Kasih yang Indah adalah Kematian

Author: Afif /



Kasih yang terindah adalah kematian

Hidup di pagi, merasa akan mati di terik sore
Hidup di sore, merasa akan mati di tenun malam
Hidup di malam, merasa akan mati di beku pagi

Arti hidup adalah untuk mati
Bertemu kembali pencipta
Bercerita perihal karyanya
Yang tak tahu terimakasih, terima nyawa

Hidup teranggap permainan
Nanti saat mati, 
Dipermainkan
Hidup teranggap pengabdian
Nanti saat mati,
Diabdikan

Kasih yang terindah adalah kematian

Medan, 23 April 2015
Afif Nabawi

Tiraiku Tirai Hijauku

Author: Afif /



Berkibar di bisik malam
Berteduh sunyi berdansa angin
Di setiap jahitannya, dia melihatku
Bertengger di tempat tidur lapuk
Mungkin juga dia melihatku
Mendekap guling
Lalu berbasahi bantal

Tirai hijauku
Kau yang paling mengerti
Semua kulampiaskan di tatap kainmu
Merindu sosok
Disetiap gerakmu
Tanggal yang tanggal
Ganti yang ganti

Aku malas mencucimu
Biar kita usang bersama
Sampai pagi, lalu paginya lagi
Aku malas menyapa terik
Seenggan aku berjumpa manusia
Cukup denganmu
Cukup aku merongrong dibalikmu

Di petang langit
Kau sambut aku
Lebih dari wanita lain menyambutku
Apa lagi yang harus kupinta?
Mereka merasa menawan
Tiraiku lebih cantik!

Ditiap aku berebah rendah
Keluh kesah hari susah
Kau cuma bergoyang
Kiri kanan, melipat-lipat
Mendengar aku ingin dia
Sadarkan aku bukan dia
Bangunkan aku dari sendiri
Menggali diri hingga berdiri

Kau buat aku penasaran, tirai hijau
Tersenyum tidak, tertawa tidak, tertangis tidak
Wajibkah aku menarik ujungmu?
Biar sama-sama telanjang kita
Lalu aku jadi selimutmu, kau jadi selimutku
Tak perlu bulan madu
Cukup tubuh yang beradu

Tiraiku, hijauku,
Jagalah rahasia kita
Bahkan istriku nantipun
Tak akan tahu apa yang kita bagi

Medan, 21 April 2015
Afif Nabawi

Kamar berhias insomnia

Author: Afif /



Otakmu, terkadang jadi pembunuh terdiam
Plintir kembali apa yang otak punya
Sadar tidak sadar
Lihat ini terima ini

Di almarhum kalender yang bergambar rencana
Di kamar tidur berhias insomnia

Imajinasi
Terkadang menjodohkanmu dengan takut
Tekanan
Terkadang menjilatimu dengan sesak
Mimpi
Terkadang mencolekmu dengan tangis

Putarlah jarum jam dinding sesukaku
Umurku melawan
Waktuku tak lama lagi

Aku adalah musuhku

Medan, 20 April 2015
Afif Nabawi

Puisi Favorit Pembaca

Diberdayakan oleh Blogger.