Kaki bermanja dengan rumput
Menggelitik butir pori beriak sampai ke hati
Ucap syukur, mungkin bibirku sudah bosan
Tuhan mengelus dengan alam sempurna
Ucap syukur, mungkin bibirku sudah bosan
Tuhan mengelus dengan alam sempurna
Tidak terhitung berapa nafas sudah
dihela
Dipeluk udara begitu kaya
Bak bisik bidadari yang menghembus hidup
Isyarat kelana ditinggal warisan
Dipeluk udara begitu kaya
Bak bisik bidadari yang menghembus hidup
Isyarat kelana ditinggal warisan
Hangat malam menjemput
Diri ditiduri atap bintang
Melajang menatap mukjizat
Mengulum kagum pada ciptaannya
Diri ditiduri atap bintang
Melajang menatap mukjizat
Mengulum kagum pada ciptaannya
Lain sadar bersandar sekitar
Siang datang, terlihat sampah berentang
Seperti kentut yang dibuang
Dalam diam namun tiada muram
Siang datang, terlihat sampah berentang
Seperti kentut yang dibuang
Dalam diam namun tiada muram
Layar bicara
Mulut merona
Air mata merana
Insan tersiksa
Mulut merona
Air mata merana
Insan tersiksa
Sudah begitu, salahkan pemerintah
Sudah begitu, kutukkan alam mentah
Sudah begitu, tamparkan tuhan megah
Akal sudah berkutu bodoh
Sudah begitu, kutukkan alam mentah
Sudah begitu, tamparkan tuhan megah
Akal sudah berkutu bodoh
Negara ini punya seribu harta
Sayang punya berjuta mulut
Tangan hanya dua
Itupun berpacaran dengan saku
Sayang punya berjuta mulut
Tangan hanya dua
Itupun berpacaran dengan saku
Medan, 20 Februari 2014
Afif Nabawi, puisi untuk lingkungan
0 komentar:
Posting Komentar